Tuesday, May 25, 2021

BUKU CANDI BOROBUDUR YANG TERKOLEKSI


Sejatinya kita ini manusia yang memilki pikiramn atas karunia Tuhan, karena kedahsyatan ciptaan yang berupa gumpalan otak yang sarat dengan saraf, memungkinkan manusia selancar dengan pikirannya. Ketika manusia berselancar dengan pikiran tentu akan menumbuhkan berbagai gagasan atau ide yang kadang dinavigasi oleh imajinasinya. Dari selancar itulah timbul pula piliha-pilihan, pilihan hidup bahkan pilihan keyakinan.

Seperti saat ini orang akan memilih keyaikinannya, dia memeluk agama, kemudian menggunakannnya sebaga bintang pengarah kehidupan. Di Jawa misalnya bertahun-tahun tumbuh kembang berbagai keyakinan, ini nampak dari aterfak sebagai peta jalannya berupa peninggalan, misalnya candi-candi yang bertebaran di Wilayah Nusantara utamnya di Jawa. Kita tidak akan bisa mudah berbohong nenek moyang kita telah meninggalkan bukti itu seperti Jandi Borobudur. Peninggalan itu menggmbarkan kepada kita semua bahwa alam pikiran nenek moyang kita itu tidak remeh temeh, membuat sesuatu itu dengan cakupan canggih, milanya tikat presisi, lalu lingkaran yang memeilki radiu canggih, bahkan dari sisi arsitektur. Berkaitan itu Joglo Javanologi sangat mengaggumi karya adiluhung nenek moyang, dengan kesadaran tinggi ingin mengunggah buku buku Candi Borobudur yang lama belum sempat diunggah. Unggahan ini akan mengalami update terus menerus ketika menemukan buku terkait dengan candi Borobodur. Juga saya sampaikan bahwa banyak seorang-orang yang mengolek buku-buku terkait dengan candi ini, yang saya ketahui adalah Kak Sudjono Adimuljo, dan bisa dicolek di face booknya.

Monday, November 4, 2013

JAWA PUNYA KALENDER : (Isyana dewa)

Kontributor Isyana dewa
Tidak semua suku/bangsa di dunia, bahkan sangat sedikit yang,  memiliki kalender sendiri, dan Jawa termasuk di antara yang sedikit itu. Kalender Jawa diciptakan oleh mPu Hubayun, pada tahun 911 Sebelum Masehi, dan pada tahun 50 SM Raja/Prabu Sri Mahapunggung I  (juga dikenal sebagai Ki Ajar Padang I) melakukan perubahan terhadap huruf/aksara, serta sastra Jawa. Bila kalender Jawa diibuat berdasarkan 'Sangkan Paraning Bawana' (=asal usul/isi semesta), maka aksara Jawa dibuat berdasarkan "Sangkan Paraning Dumadi" (=asal usul kehidupan), serta mengikuti peredaran matahari (=Solar System). 
Pada 21 Juni 0078 Masehi, Prabu Ajisaka mengadakan perubahan terhadap budaya Jawa, iaitu dengan memulai perhitungan dari angka nol ('Das'=0), menyerap angka 0 dari India, sehingga pada tanggal tersebut dimulai pula kalender Jawa 'baru', tanggal 1 Badrawana tahun Sri Harsa, Windu Kuntara ( = tanggal 1, bulan 1, tahun 1, windu 1), hari Radite Kasih (-Minggu Kliwon), bersamaan dengan tanggal 21 Juni tahun 78 M. Selama ini, banyak pendapat yang mengatakan, bahwa Prabu Ajisaka ialah orang India/Hindustan. Tetapi hal tersebut nampaknya kurang tepat, dengan fakta-fakta kisah dalam huruf Jawa, bahwa :1. Pusaka Ajisaka yang dititipkan kepada pembantunya berujud keris. Tak ditemukan bukti-bukti peninggalan  keris di India, dan keris adalah asli Jawa.2. Para pembantu setia Ajisaka sebanyak 4 (empat) orang (bukan 2 orang seperti yang banyak dikisahkan), dengan nama berasal dari bahasa Kawi, atau Jawa Kuno. Mereka adalah :    a. DURA (dibaca sesuai tulisan), yang dalam bahasa Kawi berarti anasir alam berupa AIR. Bila dibaca sebagai Duro     (seperti bunyi huruf O pada kata " Sidoarjo"), artinya = 'bohong',  sangat jauh berrbeda dengan aslinya.    b. SAMBADHA (dibaca seperti tulisan), yang dalam Bahasa Kawi berarti anasir alam yang berupa API. Bila dibaca dengan cara kini, iaitu seperti O pada kata Sidoarjo, akan berarti "mampu" atau 'sesuai'.    c. DUGA ( dibaca seperti tulisan), dalam bahasa Jawa Kuno berarti anasir TANAH, namun bila dibaca dengan cara kini, akan berarti "pengati-ati' atau 'adab'.   d. PRAYUGA (dibaca seperti tulisan), dalam Bahasa Jawa Kuno artinya adalah "ANGIN", dan bila dibaca dengan cara sekarang akan berarti 'sebaiknya/ seyogyanya". Keempat unsur/anasir tersebut adalah yang ada di alam semesta (Jagad/bawana Ageng) serta dalam tubuh manusia (Jagad/bawana Alit). 3. Nama Ajisaka ( Aji & Saka)  adalah berasal dari Bahasa Jawa Kuno, yang berarti Raja/Aji yang Saka (=mengereti & memiliki kemampuan spiritual), Raja Pandita, Pemimpin Spiritual. Prabu Ajisaka juga bernama Prabu Sri Mahapunggung  III, Ki Ajar Padang III, Prabu Jaka Sangkala, Widayaka, Sindhula. Petilasannya adalah api abadi di Mrapen, Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Pada saat Sultan Agung Anyakrakusuma bertahta di Mataram abad XVI Masehi, terdapat 3 unsur kalender budaya dominan, iaitu Jawa/Kabudhan (solar system), Hindu (solar system), dan Islam (Hijriah, Lunar Sytem), sementara di wilayah Barat/ Sunda Kelapa dan sekitarnya sudah mulai dikuasai bangsa asing / Belanda. Untuk memperkuat persatuan di wilayah Mataram guna melawan bangsa asing, Sultan Agung melakukan penyatuan kalender yang digunakan. Namun penyatuan kalender Jawa /Saka dan Islam/Hijriah tersebut tetap menyisakan selisih 1 (satu) hari, sehingga terdapat 2 perhitungan, iaitu istilah tahun Aboge (tahun Alip, tgl 1 Suro jatuh hari Rebo Wage), serta istilah Asapon (Tahun Alip, tg 1 Suro, hari Selasa Pon). Perubahan ini bertepatan dengan tanggal 1 Muharram 1043 Hijriah, 29 Besar 1554 Saka, 8 Juli 1633 Masehi. Tanggal tersebut ditetapkan sebagai tanggal 1 bulan Suro tahun 1554 Jawa (Sultan Agungan), yang digunakan sekarang.   
Dengan demikian, apabila ditilik berdasarkan penanggalan Jawa yang diciptakan mPu Hubayun pada 911 SM, maka saat ini (2012) adalah tahun 2923 Jawa (asli, bukan Saka, Jowo kini, atau Hijriah). Sebuah Kalender asli yang dibuat tidak berdasarkan agama, atau aliran kepercayaan apapun.Timur Kotaraja, Sabtu Pon 31 Desember 2011M,6 Sapar Tahun Wawu 1945J.Y. Isyana dewa (dari berbagai sumber) 

Sunday, October 6, 2013

LAKU PRIHATIN - INVESTASI MENUJU SUKSES ALA MANUSIA JAWA

        Orang Jawa itu akrab dengan sebuah LAKU, yakni menjalankan sebuah kehidupan dengan kesadaran penuh untuk tidak hidup dalam kehidupan yang sarwa "wah", bermewah mewahan tanpa kendali. Laku adalah modalitas kehidupan agar mengarungi hidup harus memiliki kendali. Tanpa kendali orang cenderung lupa diri dan berbuat sekenhendak hati.
       Orang Jawa itu gemar "tirakat" (prihatin), dan sangat percaya bahwa setiap aktivitas yang didahului dengan "laku prihatin" bakal menuai suatu kebahagiaan. Ada kesadaran yang diyakini, jika sdebuah aktivitas didahului dengan pesta pora, bermewah-mewahan agar berakhir negan kekecewaan. Menurut orang Jawa kehidupan itu murmula dari tataran keprihatinan, dan seakan-akan tidak sah jika seorang-orang itu dalam waktu yang secepat kilat langsung menerima kebahagian. Bagaikan adigium  "IF" dan "Than". "Jika" selalu diikuti "maka". 
      Seorang Raja bisa menerima Mahkota, jika ia menjalani laku, itulah yang sering dituturkan dalam lakon, ata legenda Jawa. Orang Jawa percaya, tiada kebahagiaan yang gratis dari langit. 
Buku yang dihadirkan di blog ini membentangkan persoalan laku. Laku Prihatin diyakini sebagai pengantar sukses. Menurut buku ini bahwa  Laku Prihatin itu merupakan investasi menuju sukses.
Dalam penuturannya buku ini dibagi dalam 5 Bab, dengan bahasan antara lain:
Bab I : Menelusuri Pandangan Hidup Orang Jawa (Manusia Jawa, Pandangan dan Cita-cita Hidup Orang Jawa, dan Karakter Orang Jawa.
Bab II : Sukses Hidup dalam Pandangan Orang Jawa (Keberhasilan da Keberuntungan, Orientasi Sukses dabn Sukses Hidup)
Bab III : Laku Prihatin di Jawa (Makna Laku Prihatin, Tujuan Laku Prihatin dan Pedoman Laku Prihatin
Bab IV : Ritualisasi Laku Prihatin (Wujud Laku Prihatin, Laku Prihatin dalam Kisah Wayang, Laku Prihation dalam Sejarah/Legenda Jawa, Laku Prihatin dala Kehidupan Rakyat di Jawa dan Aktivitas Laku Prihatin di Masyarakat Modern di Jawa)
Penutub merupakan Bab V.
DATA BUKU :
PENULIS: Iman Budhi Santoso
PENERBIT : Mamayu Publishing
ISBN: 978-602-971-587-3

Saturday, October 5, 2013

MAKRIFAT SYEKH SITI JENAR DALAM KESETIAAN ZAENAB (DAN 99 BURUNG SURGA)

Saya secara pribadi merasa berdosa kalau belum membentangkan buku ini di blog saya yang saya beri nama Joglo Javanologi. Hanya membentangkan bukan maksud mempropokasi, atau mengagitasi supaya orang membaca buku ini. Tepatnya kata yang saya anggap sopan adalah, saya bermaksud  merekomendasikan agar dibaca. Isinya membimbing hati kita, buku ini seperti memberikan navigasi hati, membimbing emosi agar kita lebih cerdas batin lebih sehat hati. Buku ini merupakan Makrifat yang memberikan daya komparasi hati, agar mau menerima jati diri ini sebagai given dari Allah SWT, lalu kita melakukan rekayasa pikiran, dan menghubungkan nalar dan hati kita saat melihat realitas sosial yang ada. Sadar atau tidak, saat ini kita berada di wililayah yang sedang gonjang ganjing. Hal yang kita katakan tidak mungkin, ternyata terjadi. Nafsu yang bergetar saat ini adalah nafsu yang serba  aneh, mulai syahwat kuasa, dan birahi yang beraneka warna. Inginya serba instants, hanya sekejab sudah terjadi. Godaan tak terbilang jumlah dan macamnya. Berkerja hanya sehari inginya mendapatkan harta seberat bumi, menjabat singgasana yang bermartabat  teryata laknat, bak pengklianat bermoral bejat.
          Baru saja kita terkenjut jika Bupati dan Walikota banyak yang hidup terpencara, setelah tugasnya purna. Gubernur yang membawa pikiran luhur juga tercebur. Barangkali  kita sudah lupa diri, hilang kendali. Tentu orang butuh bacaan yang ringan, namun mampu mengingatkan. Akhirnya terekomendasi sebuha buku bersampul hijau ini, buah karya mendalam dari ringanya hati dan pikiran Ibn Qasim Aba Piluyu, dengan ranah mendaratkan Makrifat Syekh Siti Jenar.
Buku ini patut dibaca, siapa saja. Menurut saya buku ini adalah buku yang JOS GANDOS. Selamat menikmati.
DATA BUKU
JUDUL: Makrifat Syeh Siti Jenar dalam Kesetiaan Zaenab dan 99 Burung Surga
PENULIS: Ibn Qasim Aba Piluyu
PENERBIT: Metro Epistema Progresive thinking
ISBN: 978-602-95293-5-7-

Wednesday, April 3, 2013

SURYO HUDOYO COLLECTOR BUKU TENTANG WAYANG,....SILA KLIK

BLOG,,,,,,,Milik Suryo Hudoyo.  Sangat luar biasa dan penuh dedikasi. Blog ini tidakl sekedar mengoleksi, tapi lebih dari itu. Blog ini punya niatan yang dahsyat dan kekuatan khusus.  Barangkali tidak hanya uang dan waktu membangun Blog ini. Namun kalau diraba, akan terkuak bahwa blog ini ingin menyelamatkan kekayaan sastra Indonesia. Selamat untuk Suryo Hudoyo (Kawicastra). Silakan Klik gambar di atas jika ingin lebih jauh melihat, atau silakan kilk, tulisan KLIK INI

Thursday, January 24, 2013

SOEHARTO - JOKOWI, FALSAFAH JAWA

Seorang pemimpin Jawa, selalu memandu dirinya pada falsafah Jawa. Seperti halnya Presiden Soeharto ketika berkuasa. Bahkan di Era Soeharto muncul buku buku bernuansa Jawa. Ada maha karya Soeharto yang patut untuk dianut. yakni buku "Butir-butir Budaya Jawa". Dalam buku itu mengajak khalayak baca untuk lebih mengetahui kedalaman falsafah Jawa. Tentunya di Nusantara  juga banyak budaya, yang layak pula untuk diteladani. Sekarang seorang-orang Ki NArdjoko Soeseno mengangkat Falsafah Jawa, dan dibukukan dengan tajuk " Falsafah Jawa Soeharto & Jokowi. Buku ini berkisah tentang pemimpin Jawa. Selanjutnya buku ini membentangkan butir-butir falsasah Jawa yang dianut oleh kedua tokoh yang dijadikan bahasan buku ini. Misal yang falsah Jawa yang digunakan Jokowi, seperti:
Sugih tanpa bandha
Digdaya tanpa Aji
Ngluruk tanpa bala
Menang tanpa ngasorake
dan masih banyak lagi.
(Sugih tanpa bandha, digdaya tanpa aji, nglurug tanpa bala, menang tanpa ngasorake - kaya sekalipun tidak mempunyai harta, perkasa sekalipun tidak mempunyai aji-aji, maju bertempur walaupun tidak dengan bala bantuan, ketika menang tidak merendahkan yang dikalahkan.)
 Falsafah yang satu ini, terdiri dari empat kalimat. Tiap-tiap kalimat itu mempunyai makna yang baik.  Seperti kalimat pertama "sugih tanpa bandha". "Sugih itu artinya kaya, dan "bandha" itu berarti harta. Kaya tanpa harta, itulah arti harfiah kalimat ini.

Lalu kalimat kedua yang berbunyi "digdaya tanpa aji". berarti sakti (= digdaya) tanpa memakai azimat (= aji). Ini adalah nasihat kepada seorang manusia untuk sebaiknya bisa seakan-akan punya kesaktian, tapi sesungguhnya  tak memelihara azimat barang sepotong pun.

Selanjutnya kalimat ketiga yang berbunyi "nglurug tanpa bala", berarti menyerang (= nglurug) tanpa membawa pasukan (= bala). manusia harus dapat berupayamenang tanpa harus melibatkan orang lain. Dan yang berikutnya kalimat "menang tanpa ngasorake", yang bermakna mencapai kemenangan tanpa harus merendahkan orang lain.

Wednesday, January 23, 2013

NGUDUD = ORANG JAWA MEROKOK

Menikmati hidup bagi orang Jawa menjadi tataran khusus, yang banyak orang diarahkan untuk semeleh. Kata sabar bagi orang Jawa adalah kata yang dahsyat. Kesabaran banyak diuji, ternyata selalu handal dalam setiap relung kehidupan. Rupanya hala ini sangat berimpit dengan Orang Jawa kala sedang menikmati rokok. Rokok bagi orang Jawa, kadang mampu digunakan mereduksi segenap kekesalan, mungkin semua yang menjadikan ruwet bisa terurai cepat ketika rokok disandingnya. Inilah yang sebagian ditulis dibuku karya mas Iman Budhi Santosa. Ada empat bab yang dibentangkan antara lain:
Bab I. Mengenai  Tembakau, Rokok, Dan Pata Perokok
Bab II. Rokok Dalam Kehidupan Wong Cilik Di Jawa
Bab III. Rokok Di Balik Kehidupan Sosial Politik, Dan Kebudayaan Jawa
Bab IV. Rokok Dan Tantangan Zaman
 

Warto Selaras

Google